MEMAHAMI KESALAHAN PENALARAN
Penalaran sebagai rangkaian proses berpikir manusia mempunyai pola dan kaidah tertentu yang sebenarnya secara logis dapat dipertanggungjawabkan hakiki kebenaran formulanya, di samping mampu diterima secara nalar oleh pikiran manusia. Ada seperangkat kaidah yang harus dipenuhi untuk menghindarkan hal-hal yang dapat menyesatkan pola berpikir seseorang. Ada pula formulasi tertentu yang dapat dibentuk oleh akal manusia, baik secara deduktif maupun induktif.
Salah nalar merupakan hasil kesalahan yang berkaitan dengan proses bernalar. Kesalahan tersebut dapat pula terjadi tanpa disadari karena kelelahan atau kondisi mental yang tidak menyenangkan sehingga berakibat pada salah ucap atau salah tulis. Dapat pula kesalahan terjadi karena ketidaktahuan yang bersangkutan, baik mengenai ilmu maupun kaidah berpikir. Lebih celaka lagi, bila yang bersangkutan tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu atau salah tahu.
Kesalahan penalaran dapat berupa kesalahan dalam menentukan relevansi bahkan dapat pula kesalahan dalam hal yang substantif.
1. Kesalahan relevansi
Kesalahan penalaran tipe ini terjadi jika premnis-premis yang dikemukakan atau digunakan kehilangan hubungan logis dengan kesimpulan yang disampaikan. Ada pula beberapa kesalahan relevansi dalam bentuk berikut ini.
a. Argumentum ad populum
Kesalahan ini terjadi karena argumen yang digunakan ditujukan pada diri orang (hominem) yang bersangkutan. Sanggahan, tanggapan, komentar, kritik, saran, usul, ulasan tidak terfokus pada pokok persoalan pembicaraan, tetapi pada aspek-aspek kepribadian orang yang menjadi lawan bicaranya. Kesimpulan yang disampaikan lebih berdasarkan pada kepentingan, keuntungan, ataupun peluang-peluang yang bisa diraihnya. Kita menolak “orang yang berbicara” dan bukan “apa yang dibicarakan”.
b. Adgumentum ad baculum
Kesalahan ini terjadi bila kesimpulan, sanggahan, kritik, usul, komentar, ataupun tanggapan dikaitkan dengan ancaman, baik berupa sanksi maupun hukuman (baculum berarti tongkat). Orang terpaksa menerima suatu kesimpulan karena takut menghadapi konsekuensi atau sanksi. Dengan demikian, argumentum ad baculum menunjukkan suatu argumentasi yang digunakan untuk mengancam otoritas seseorang.
c. Argumentum ad misericordiam
Misericordiam berarti belas kasihan sehingga argumentasi digunakan untuk membangkitkan belas kasihan sehingga orang lain tertarik dan berpihak. Dapat pula terjadi argumentasi-argumentasi yang disampaikan dengan tujuan agar kesalahan dimaafkan. Misalnya, seorang siswa mendapat nilai hasil ulangan yang kurang baik. Siswa tersebut mencari alasan yang tak berhubungan kausal, misalnya karena ia baru konflik dengan tetangga sebelah rumahnya.
d. Non-causa Pro-causa
Kesalahan tipe ini terjadi bila argumentasi yang disampaikan mengungkapkan sebab yang bukan akibat sebenarnya. Misalnya, seorang siswa takut dimarahi orang tuanya karena terlambat pulang. Ia berjanji pulang paling lambat pukul 21.00. Namun, hingga pukul 22.30 anak itu masih asyik mengobrol dengan teman-temannya. Begitu melihat arlojinya, ia terkejut karena tidak menepati janji. Untuk itu, seratus meter sebelum masuk ke rumahnya ia sengaja mengempeskan ban sepeda motornya. Sampai di rumah, orang tua bertanya mengapa terlambat pulang? Siswa menjawab dengan tenang dalam ekspresi gugup, ban motor bocor di jalan dan tidak ada lagi tempat menambalkan sehingga terpaksa jalan mendorong sepeda motornya hingga sampai rumah.
2. Kesalahan Substansi
Kesalahan substansi lebih terkait dengan proses berpikir atau bernalar, baik secara deduktif maupun induktif.
1. Kesalahan substansi dalam berpikir induktif
a. Generalisasi terlalu luas
Kesalahan ini terjadi bila fakta, bukti, evidensi yang digunakan sebagai data tidak lengkap sehingga terjadi penyamarataan atau apriori. Semisal, “Semua pelajar Jakarta gemar tawuran”. Tentu hal t6ersebut terlalu luas cakupannya sebab yang terlibat dalah persoalan tersebut tidak cukup persentasenya untuk menarik kesimpulan umum.
b. Kausalitas yang tak memadai
Kesalahan pola ini terajdi karena adanya pembenaran subjektif serta menyembunyikan kekuarangan yang ada. Oleh karena itu, terdapat kamuflase yang baik dengan rasionalisasi maupun dengan mengaitkan pada hal-hal rasional.
Contoh:
Pery mendapatkan nilai bahasa Indonesia di rapornya di bawah enam. Ketika ditanyai oleh orangtuanya Pery menjawab, “Guru bahasanya itu pernah marah sama saya. Lagi pula, nilai ulangannya tidak pernah dibagikan?”
Sebagian siswa kelas 3 P 1 mendapatkan nilai kurang dari ulangan bidang studi fisika. Mereka mengatakan waktu ulangan saat itu tiba-tiba hujan lebat, kemudian terdengar suara halilintar menggelegar.
c. Analogi yang tidak akurat
Pola ini terjadi jika sifat substansial tidak mendasari penarikan kesimpulan.
SMU Dwarapati adalah sekolah favorit. Banyak birokrat, politisi, maupun pengusaha nasional-internasional berasal dari sekolah ini. Rusli bersekolah di sekolah ini. Ia yakin suatu ketika akan menjadi birokrat yang sukses.
Dalam hal ini terjadi kekeliruan penalaran karena ada asumsi yang keliru dalam diri Rusli, mengidentifikasikan sekolah dengan pencetak birokrat, politisi, atau pengusaha.
2. Kesalahan substansi dalam berpikir deduktif
Kesalahan substansi secara deduktif terjadi karena kekurangcermatan kita dalam memahami syarat-syarat silogisme. Dengan demikian, hukum-hukum silogisme yang sangat esensial dalam proses penarikan kesimpulan terabaikan. Akibatnya, kesimpulan yang tidak akurat, tidak objektif, dan tidak dapat dipertanggungjawabkan mempengaruhi pendapat seseorang yang terekspresikan lewat apa yang dikatakannya.
Ada tiga kategori kesalahan: premis mayor tidak dibatasi, perbedaan esensi antarpremis, dan premis-premis negatif.
2.1 Premis tidak dibatasi
Kesimpulan yang kita turunkan bisa kurang dapat dipertanggungjawabkan bila secara esensial tidak kita batasi sifat dan isi pengertiannya. Cobalah cermati baik-baik contoh berikut sekaligus analisislah di mana kesalahannya!
Sebagian besar orang Asia berkecukupan hidupnya. Orang Indonesia adalah orang Asia. Jadi, semua orang Indoensia berkecukupan hidupnya.
2.2 Esensi premis berbeda
Esensi atau pokok persoalan premis berbeda. Perbedaan esensi premis tentu sangat berpengaruh terhadap kesimpulan yang diturunkan. Hal itu sangat berpengaruh terhadap bobot kebenarannya (truth) meskipun bila dilihat dari segi pola dan cara penalarannya benar. (valid). Jadi, yang valid belum tentu benar.
ontoh:
Orang yang pandai berkepala botak adalah profesor. Rusli siswa kelas 3 IPA 1 itu pandai dan berkepala botak. Jadi, Rusli itu seorang profesor.
2.3 Premis negatif
Kesalahan tipe ini terjadi bila kita menggunakan dua premis negatif sekaligus untuk menarik kesimpulan sehingga terjadi kerancuan. Tidak jarang bentuk-bentuk pengingkaran itu menunjukkan pokok-pokok masalah yang berbeda. Coba cermati contoh berikut di mana kesalahannya?
Semua pohon kelapa tidak bercabang. Tiang listrik tidak bercabang. Jadi, tiang listrik itu pohon kelapa.
Bangau, 28012022
TTKH
